Sejarah Qur’an I
Barat dan Manuskrip Al-Qur’an Pada Masa Kontemporer (Shan`a dan Jerman)
Sri Hariyati Lestari
Barokatun Nisa
Ibrizatul Ulya
Sejak abad ke-19,
sarjana-sarjana Barat telah melakukan
kajian kritis historis terhadap al-Qur’an yang berupaya menunjukkan bagaimana
teks al-Quran dan sejarahnya dapat diketahui dengan bantuan pengetahuan
rasional. Abraham Geiger (1810-1874), dianggap sebagai sarjana pertama yang
menerapkan pendekatan kritik-historis ini terhadap al-Qur’an. Pada tahun 1883,
ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Was hat Mohammed aus dem
Judentum aufgenommen? (Dirk Hatwig 2009:241). Dalam karyanya tersebut, ia
mengatakan bahwa Nabi Muhammad mengambil banyak bagian dari tradisi Yahudi
dalam memproduksi al-Qur’an. Pandangan semacam ini kemudian diikuti oleh banyak
sarjana lainnya, seperti Günther Luling dan Christoph Luxemberg. Para sarjana
ini menganggap al-Qur’an sebagai teks 'epigonik' dalam arti bahwa al-Qur’an
merupakan imitasi dari teks-teks pra-Islam. Pandangan ini tentu saja menjadi
sangat kontroversial di kalangan sarjana Muslim.[1]
Sebagaimana
yang telah dikemukakan pada pertemuan sebelumnya, bahwa pada tahun 1972,
ditemukan sebuah bungkusan manuskrip di Shan`a, ibukota Yaman, yang ditemukan
oleh pekerja di atap masjid kuno ketika masa perbaikan setelah masjid itu
mengalami kebocoran akibat hujan lebat. Manuskrip tersebut akhirnya diamankan
oleh Kadi Ismail Al-Akwa untuk kemudian diteliti bersama Dr. Gerd R. Puin,
seorang ahli kaligrafi Arab dan pakar paleografi al-Qur’an asal Universitas
Saree, Jerman, dengan bantuan dana dari pemerintah Jerman, pada tahun 1979.
Menurut
Dr. Puin, kaligrafi mushaf tersebut berasal dari Hijaz, tempat tinggal Nabi
Muhammad SAW, yang telah ditulis pada abad ke-7 atau 8 M. Berdasarkan
penelitiannya, Dr. Puin mengatakan bahwa variasi teks manuskrip tersebut agak berbeda, di antara beberapa perbedaan yang
dilihat oleh Dr. Puin, salah satu kesimpulannya yang sulit diterima umat Islam
adalah, bahwa al-Qur’an mengalami evolusi tekstual, sebab ia melihat adanya
jejak-jejak teks yang dihapus dan digantikan dengan teks yang baru.
Kemungkinannya, al-Qur’an yang dibaca umat pada saat ini bukanlah satu-satunya
versi yang diyakini telah diwahyukan Allah kepada Nabi.
Namun,
tidak semua sarjana Barat setuju
dengan pandangan bahwa al-Qur’an hanyalah sekedar kumpulan teks yang menyontek
teks-teks pra-Islam. Banyak sarjana Barat lainnya, seperti Anglika Neuwirth,
Nicolai Sinai, Michael Marx, dan Dirk Hartwig mengkritik pandangan tersebut.
Mereka telah melakukan beberapa penelitian untuk membuktikan ketidaksetujuan
mereka. Salah satunya adalah proyek yang mereka sebut dengan Corpus
Coranicum, yang sedang dilakukan di Berlin-Brandenburgische Akademie der
Wissenschaften di Jerman. Mereka menggunakan pendekatan yang sama seperti yang
dilakukan oleh Abraham Geiger, tetapi dengan paradigma yang berbeda. Tidak
seperti Geiger, mereka memandang Alquran sebagai 'teks polifonik' dan bukan
mimesis (tiruan) dari teks-teks sebelumnya. Menurut Phil Sahiron Syamsudin, M.A,
tren penelitian semacam ini bisa disebut dengan 'tren baru studi
historis-kritis terhadap Alquran'. Proyek ini terdiri atas tiga kerja
utama, yaitu:
1.
Pertama, para sarjana tersebut membuat dokumentasi
tentang manuskrip-manuskrip Qur’an awal berikut variasi qira'at. Namun,
pendokumentasian ini tidak bertujuan untuk membuat teks edisi kritis al-Qur’an.
Dalam hal manuskrip Alquran, mereka membuat data bank tentang lokasi,
penanggalan, dan aspek-aspek paleografis dari setiap manuskrip. Saat ini, bank
data terdiri atas 250 entri dan setiap entri memiliki sejumlah foto manuskrip.
Jumlah foto yang telah digitalisasi dalam beberapa komputer saat ini 3.500 buah.
Adapun dalam bank data tentang variasi bacaan al-Qur’an, seseorang dapat menemukan
semua cara baca (qira'at) al-Qur’an, baik qira'at yang dianggap sebagai qira'at
mutawatirah (diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi), qira'at masyhurah
(diriwayatkan oleh relatif banyak perawi), maupun qira'at syadzdzah (yang tidak
termasuk kedua macam qira'at tersebut).
2.
para sarjana yang terlibat dalam proyek tersebut juga
melakukan penelitian dan kajian serta membuat bank data terkait dengan apa yang
mereka sebut dengan Texte aus der Welt des Quran (teks-teks di sekitar al-Qur’an).
Dalam hal ini, mereka berupaya mencari kemiripan teks al-Quran dengan teks-teks
lain pada masa turunnya wahyu Qur’an. Kajian semacam ini dikenal dengan istilah
'intertekstualitas' antara ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks dari tradisi
pra-Islam, seperti Alkitab, teks Yahudi pasca-biblikal, dan puisi Arab klasik.
Intertekstualitas ini, menurut mereka, merupakan fondasi yang sangat berarti
bagi upaya rekonstruksi teks-teks yang ada di sekitar Alquran (Marx 2008:51;
Wawancara 2 Juli 2010).
Namun,
berbeda dari orientalis-orientalis lain pada abad ke-19 yang berpandangan bahwa
al-Qur’an adalah imitasi/tiruan dari teks-teks pra-Islam, para sarjana ini
telah melakukan riset se-objektif mungkin dan mereka sampai pada kesimpulan
bahwa al-Qur’an bukanlah 'teks epigonik' yang merupakan hasil imitasi beberapa
teks lain dari tradisi pra-Islam. (Neuwirth 2008:16; Wawancara 1 Juli 2010).
Mereka menegaskan, bahwa al-Qur’an meskipun dalam beberapa kasus memiliki
paralelitas dan kemiripan dengan teks-teks lain, tetapi ia merupakan teks 'independen'
yang memiliki karakteristik sendiri dan dinamikanya sendiri, baik dari segi
bahasa maupun isi.
Sebagai contoh, Neuwirth membandingkan antara surat
al-Rahman dan Zabur, ia membuktikan bahwa meskipun kedua teks ini memiliki paralelitas/interseksi,
tetapi al-Qur’an memiliki gaya sendiri dalam hal struktur sastra dan spirit
yang spesifik dalam hal isi dan pesan (Neuwirth 2008:157-189). Kesimpulan yang
sama juga dibuktikan oleh Nicolai Sinai ketika meneliti QS. An-Najm. Seiring
dengan temuan ini, Dirk Hartwig,ketika diwawancarai tanggal 2 Juli, mengkritik
Christoph Luxemberg yang mengatakan bahwa Alquran adalah salinan teks dari
tradisi Kristen yang berbahasa Syro-Aramaik.
3. Mereka telah dan sedang
memproduksi apa yang mereka sebut der historisch-kritische
literaturwissenschaftliche Kommentar des Quran (interpretasi historis-kritis
dan sastrawi terhadap Alquran). Struktur interpretasi ini terdiri atas
empat elemen. Unsur pertama adalah teks al-Qur’an dan terjemahannya dalam
bahasa Jerman. Teks Arab didasarkan pada qiara'at Hafsh dari 'Asim. Terjemahan
al-Qur’an sebagian besar berasal dari terjemahan Rudi Paret dengan beberapa
penyesuaian tertentu. Studi tentang urutan kronologis wahyu merupakan elemen
kedua interpretasi mereka. Mereka ingin merekonstruksi dinamika teks al-Qur’an
ber kaitan dengan aspek linguistik/sastranya. Juga, apa yang mereka sebut
"kritik sastra" dalam arti mereka memberikan penjelasan struktur
sastra al-Qur’an dalam menyampaikan pesan tertentu[2].
Kesimpulan:
al-Qur’an di mata orientalis barat memiliki standar
ganda:
1. Golongan pertama berpendapat
bahwa al-Qur’an merupakan teks epigonik daripada teks-teks pra islam, seperti tradisi
yahudi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan variasi teks manuskrip yang di
temukan di atap masjid di Shan’a yang diteliti oleh Dr. Puin, juga manuskrip
yang diteliti oleh Abraham Geiger serta sarjana barat lainnya seperti Günther
Luling dan Christoph Luxemberg.
2. Pendapat kedua
menyangkal pendapat diatas. Mereka meyakini bahwa al-Qur’an merupakan kitab
yang independent walaupun sebagian isinya hampir menyerupai isi kitab-kitab,
teks-teks pra-Islam seperti tradisi Yahudi sebelumnya. Meskipun begitu
al-Qur’an mempunyai gaya bahasa dan dinamikanya yang berbeda dari kitab-kitab sebelumnya baik yang
berupa isi maupun bahasanya.
[1] Phil Sahiron
Syamsudin, M.A,“Studi al-Qur’an di Jerman“ (data based on-line), (accessed 20
May 2013), available from: http://dariislam.blogspot.com
[2] Phil Sahiron Syamsudin, M.A,“Studi al-Qur’an di Jerman“ (data
based on-line), (accessed 20 May 2013), available from: http://dariislam.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment