Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah Hermeneutika dan filsafat bahasa
Strukturalisme dan Post-Strukturalisme
Dosen pengampu : Dr. Phil. Sahiron Syamsudin
Oleh kelompok :
Arini Royyani S (12531143)
Rona Rasyidatur R (12531144)
Barokatun Nisa (12531146)
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2014
TEORI STRUKTURALISME DAN POST-STRUKTURALISME
A. Strukturalisme
Teori strukturalisme mempunyai sejarah
pemikiran cukup panjang. Secara formal pendekatan ini dilontarkan oleh Claude
Levi-Strauss pada 1950-an. Namun kemudian diketahui bahwa pemikirannya ini
diadopsi dari beberapa pemikir sebelumnya seperti Durkheim dan Saussure. Karya
Ferdinand De Saussure yang berjudul Course in General Linguistic bahkan
dianggap sebagai titik awal kemunculan strukturalisme. Menurutnya strukturalisme
dapat diasosiasikan sebagai gerakan untuk kembali ke bahasa (linguistis tur),
yaitu dengan difokuskan pada hubungan antar sistem gramatikal (tata bahasa)
formal, bahasa (langue) dan bahasa dalam pemakaiannya sehari-hari (parole).
Strukturalisme De Saussure mendasarkan diri
pada teori yang berasal dari linguistik. Dalam pandangan teori linguistik,
setiap orang di masyarakat diasumsikan mengetahui bagaimana menggunakan bahasa,
walaupun kebanyakan diantara mereka tidak memperdulikan aturan-aturan terkaita
fonetik dan tata bahasa. Disinilah peran ahli bahasa dibutuhkan, yaitu untuk
menemukan prinsip-prinsip yang tak disadari (deep structure) dari
bahasa-bahasa yang berlaku dimasyarakat. Pada saat yang sama, kaum strukturalis
mencoba untuk mendesain metode sistematis untuk memahami struktur bahasa yang
berhubungan dengan budaya.[1]
Menurut Levi-Strauss bahasa berasal dari
dimensi tidak sadar manusia. Karena semua pikiran manusia bekerja dalam cara
yang sama. Apapun perbedaan bahasa yang nampak, pada dasarnya dibentuk atas
prinsip-prinsip yang sama. Kemudian, kebudayaan juga merupakan ciptaan dari
proses pikiran yang tidak disadari dan sama, sehingga ciri-ciri struktural dari
organisasi sosial merupakan cerminan dari bahasa tersebut. Kebudayaan,
sebagaimana bahasa, menurutnya adalah sistem tanda-tanda dan simbol-simbol yang
pengorganisasiannya mencerminkan tingkah dan pikiran manusia. Oleh sebab itu,
Levi berkesimpulan bahwa pikiran manusia menstrukturkan dunia bahasa dan
perilaku (organisasi sosial) dengan cara yang sama. [2]
B. Post-Strukturalisme
Tokoh penting dalam teori ini adalah Jacques
Derrida dan Michel Foucault. Foucault setuju dengan pemikirean strukturalis
mengenai bahasa sebagai pusat kebudayaan. Hanya saja bahasa yang menjadi
sasaran perhatiannya adalah mengenai bagaimana cara yang khas berfikir dan
berbicara tentang aspek-aspek dunia adalah bentuk pengetahuan yang bekerja.
Bahasa tersebut adalah sistem-sistem gagasan yang berkaitan satu sama lain dan
memberi tahu pengetahuan tentang dunia—sebagai wacana dan itulah sebabnya
mengapa Post-strukturalisme terkadang disebut dengan teori wacana.
Jargon Post-strukturalis adalah bahwa individu
sangat ditentukan oleh wacana-wacana. Menurut Foucault, memiliki satu wacana
adalah satu-satunya cara mengetahui tentang realitas. Selanjutnya karena kita
dipaksa untuk mengetahui dengan menggunakan wacana, maka wacana itu menerapkan
kekuasaan kepada kita (siapa kita, apa yang kita pikirkan, apa yang kita
ketahui dan apa yang kita katakan) diproduksi oleh berbagai wacana yang kita
hadapi dan gunakan. Maka, wacana tersebut memberikan kepada kita satu-satunya
cara untuk menjadi “seseorang”. Jalinan ini (hubungan antara pikiran dan
bahasa, pengetahuan dan tindakan) disebut Foucault sebagai ‘praktik diskursif’
yang artinya kehidupan sosian terdiri dari aktivitas-aktivitas yang
dipromosikan oleh wacana.
Sebagai ringkasan, argumen Foucault adalah
bahwa identitas ditentukan oleh wacananya. Manusia adalah siapa mereka- mereka
berpikir tentang apa yang mereka pikirkan, tahu apa yang mereka ketahui,
mengatakan apa yang mereka katakan dan memperbuat apa yang mereka perbuat,
karena implikasi dari wacana itu odalan konfigurasi wacana-wacana yang berbeda.
Foucault berpendapat kajian tentang wacana
secara esensial adalah kajian kekuasaan. Kekuasaan dijalankan dalam dua cara:
Pertama kekuasaan dilaksanakan agar satu wacana terwujud, kedua kekuasaan
dilaksanakan oleh satu wacana, karena kekuasaan menentukan identitas. Maka,
menurutnya ‘praktik diskursif’ adalah akar kehidupan sosial.
Post-strukturalis menggunakan istilah
Dekonstruksi untuk menguraikan satu metode untuk mengungkapkan asal-usul cara
berpikir dan mengetahui. Sebagai contoh, ia berpendapat bahwa asal-usul
gangguan jiwa sebagai hilang akal sehat adalah ciri wacana yang dilatar
belakangi pandangan rasionalitas. Kemudian, gangguan Ita itu disebut sebagai
sakit sejak dibangunnya rumah perawatan orang sakit jiwa-menjadi rumah sakit
jiwa yang mendorong lahirnya ilmu psikiatri dan psikiater.
Mendefinikan gangguan jiwa sebagai
representasi dari hilangnya akal sehat hanyalah pergeseran hubungan kekuasaan;
penggantian satu cara mendefinisikan realitas dengan cara yang lain. Pemikiran
Foucault pada intinya dapat dianggap sebagai contoh tentang relativisme
C. Relativisme
Seorang relativis percaya bahwa tidak ada
kebenaran objektif, yang ada hanyalah cara-cara yang bersaing satu sama lain
untuk menanggapi sesuatu dan bersaing pula untuk mengetahui tentang sesuatu
itu. Seperti yang dikatakan oleh Pascal: “apa yang benar menurut Pyreness
mungkin salah menurut yang lain.” Realitas tidak memiliki makna terpisah dari
apa yang diyakini nyata oleh kelompok-kelompok yang meyakininya. Seperti meyakini
satu konsep bahwa dunia seperti apa adanya diciptakan tuhan, sihir menyebabkan
nasib sial, dan lain sebagainya. Bukan lah keyakinan salah atau benar kecuali
kalau dilihat dari perspektif orang yang meyakininya dan bukan dari sudut
pandang orang yang menggunakan definisi kebenaran dari sudut pandang lain.
Meskipun kita hidup di dunia di mana wacana
ilmiah begitu dominan tidak berarti bahwa wacana ilmiah superior terhadap
klaim-klaim kebenaran yang lain. Bagi relativis hal sebaliknya berlaku pula
bahwa pengetahuan ilmiah bukan berkuasa karena benar melainkan benar karena
berkuasa. Jadi pertanyaannya bukan “apa yang benar ?” melainkan “bagaimana
versi tentang kebenaran ini mendominasi ranah sosial dan sejarah ini ?”.
pembahasan mengenai relativis mengenai pengetahuan ilmiah yang paling awal dan
paling terkenal ini berasal dari Thomas Kuhn, seorang ahli ilmu pengetahuan
(1992).[3]
Kuhn dalam bukunya yang berjudul The
Structure Of Scientific Revolutions menimbulkan dampak besar terhadap cara
ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah selama ini dipahami. Beliau berargumen menentang
klaim bahwa ilmu pengetahuan mengumpulkan pengetahuan dengan cara sepenuhnya
objektif, hanya berhubungan dengan fakta-fakta dan menyingkirkan penilaian.
Menurutnya produksi kebenaran ilmiah selalu dipengaruhi oleh gaya dan tren oleh
politik dan digunakannya kekuasaan dan oleh pilihan tentang apa yang seharusnya
diketahui dan yang seharusnya tidak.
Ia mengklaim bahwa satu kajian tentang sejarah
ilmu alamiah menunjukkan bagaimana satu proses seleksi yang berbasis nilai
selalu terjadi –bahwasanya ilmuwan tidak Han harus memilih fenomena mana yang
harus diteliti tetapi juga harus memilih satu pendekatan teoritis dalam
melakukan penelitian tersebut. Ia berargumen bahwa setiap pengetahuan ilmiah
diproduksi dari dalam suatu tradisi tertentu atau yang disebut paradigma yang
akan menentukan penelitian apa yang akan dilakukan dan bagaimana dilaksanakan.
[1] Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial dari Klasik Hingga Postmodern,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2012. Hlm. 259-260.
[2] Pip Jones, pengantar teori-teori sosial dari teori fungsionalisme hingga
Post-modernisme Terj. Achmad Fediyani Saifuddin, Jakarta: Buku Obor.
2010. Hlm. 201
[3]
Pip Jones, pengantar teori-teori sosial dari teori
fungsionalisme hingga Post-modernisme Terj. Achmad Fediyani Saifuddin, Jakarta:
Buku Obor. 2010. Hlm. 206-207
1 comments:
nice...
Post a Comment