Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Thursday 26 February 2015

Problematika “Bersalaman” dengan Lawan Jenis di Kalangan Santri (Part I)



Problematika “Bersalaman” dengan Lawan Jenis di Kalangan  Santri (Part I)

Sebelumnya telah dibahas mengenai makna santri, namun untuk mengingatkan kembali, definisi santri adalah seseorang yang menuntut ilmu agama di pondok pesantren di bawah bimbingan kiai atau ustad. Berbicara mengenai santri, tidak akan lepas dari kaidah-kaidah teologis yang melingkupi mereka. Terutama mengenai batasan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam islam, dikenal mengenai istilah mahrom, yaitu orang yang mempunyai darah yang sama dan mengalir di dalam tubuh seseorang yang menyebabkan ia haram untuk menikahi saudara sedarahnya tersebut, seperti silsilah ayah hingga ke atas dan silsilah anak hingga ke bawah. Definisi Mahrom sendiri berbeda dengan definisi muhrim yang banyak dikenal oleh masyarakat luas. Adapun muhrim yaitu orang yang tengah melakukan ihrom, haji di Baitullah Makkah. Jika seseorang tidak memiliki ikatan darah, maka ia disebut dengan kata ajnaby atau ajnabiyah yaitu orang yang boleh untuk dinikahi.
Sudah mafhum tentunya bahwa interaksi antara ajnaby dan mahrom itu berbeda. Hal ini sebagaimana yang sudah ditentukan dalam syari’at islam dan tentu sudah sangat familier di kalangan santri. Di manakah anda melihat seorang santriwati dengan bebas dapat berinteraksi dengan pria ajnaby atau begitu juga sebaliknya ? tentu sangat jarang ditemukan. Terlebih lagi jika mereka masih menyandang status santri aktif, yaitu seorang santri yang memang masih menetap dan tinggal sehari-harinya di pondok. Namun hal ini akan menjadi semakin berbeda keadaannya jika seorang santri tersebut sudah berada di luar kawasan pondok pesantren, santri pasif.
Permasalahan di atas kemudian semakin bertambah ketika kita melihat seorang santri pasif –selanjutnya akan ditulis demikian karena sesungguhnya tidak ada kata mantan santri dalam dunia pesantren–  yang melanjutkan studinya di luar kawasan pesantren secara bebas dan tanpa batasan bergaul dengan lawan jenis. Hal ini sangat bertentangan dengan kehidupan sehari-hari kaum santri yang notabene selalu hidup penuh dengan aturan dan satu hal yang tabu jika sampai terlihat berinteraksi dengan lawan jenis. Namun aturan dan ke-tabu-an tersebut bukanlah satu-satunya hal yang harus kita perhatikan. Ada hal lain yang mungkin jadi pertimbangan para santri pasif ini untuk berinteraksi dengan lawan jenisnya termasuk bersalaman, yakni sebagai sikat etis, menghormati mereka, terlebih ketika mereka telah mengulurkan tangan untuk bersalaman di tengah keramaian. Yaitu dengan dalih tidak ingin mempermalukan teman yang mengajak bersalaman terlebih dahulu. Apakah praktisi yang seperti ini diperbolehkan dalam klausul hukum islam ?
Me

Wednesday 4 February 2015

KONTROVERSI DEFINISI HALAL DAN HARAM : ROKOK HARAM ?

Kontroversi Definisi Halal dan Haram : Rokok Haram ?
Bermula dari pertanyaan seorang teman mengenai batasan definisi halal dan haram, “Bapak, dalam satu klan ormas muslim di Indonesia ada yang mendefinisikan haram dengan hal yang mempunyai madharat lebih banyak daripada manfaatnya apakah menurut bapak definisi ini adalah benar dan patut diaplikasikan ?”
Dari sini kemudian penulis merasa tergelitik untuk menulis penjelasan dosen kami mengenai paradigma masyarakat Indonesia yang notabenenya terlalu condong pada kategori kaum santri, yang penuh kehati-hatian dan sebisa mungkin menjauhi bid’ah. Dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa bid’ah adalah sesuatu yang pada era Rasulullah belum ada dan baru dikenal pada zaman-zaman terakhir ini.
Sebagai salah satu negara islam terbesar di dunia, tidak heran jika Indonesia mempunyai banyak paham ideologis yang berbeda. Perbedaan ini bukan hanya pada cara pandang mereka terhadap hal-hal ubudiyyah namun juga masuk di dalamnya hal-hal yang berkaitan dengan mu’amalat antar muslim. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan urusan teologis yaitu mengenai pemahaman mereka mengenai praktisi ibadah dan termasuk di dalamnya beberapa definisi fiqhiyah seperti halal dan haram.
Sudah maklum di kalangan muslimin bahwa halal adalah segala hal yang bersih, sehat dan tidak ada subhat dalam mengonsumsinya. Sebagai contoh nasi, di Indonesia khususnya, adalah makanan pokok berkarbohidrat tinggi dan sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia, yang mengonsumsinya merupakan hal yang wajar dan diperlukan. Menurut penulis definisi kata halal sendiri sudah gholib, tidak ada kontroversi paham ideologis di dalamnya. Sedangkan mengenai definisi haram sendiri, banyak kalangan yang mempunyai perbedaan cukup besar di dalamnya. Sebagai contoh, orang NU, hususnya yang termasuk golongan santri menganggap bahwa haram adalah hal yang sudah mutlak dilarang untuk dikonsumsi, seperti ciu atau bir, daging babi dan anjing. Adapun batasannya adalah apa-apa yang sudah disebutkan dalam kitab-kitab hadis dan fiqih. Namun adapula sebuah golongan yang berpendapat bahwa definisi daripada haram yaitu semua hal yang dianggap mempunyai madharat lebih banyak daripada manfaatnya. Dari sini maka akan ada distorsi pemahaman mengenai hal-hal yang halal dan haram, sedangkan pada hakikatnya halal dan haram dianalogikan seperti dua kategori warna, putih dan hitam.
Dari polemik ini, penulis kembali merujuk pada penjelasan yang diutarakan oleh dosen Penelitian Kitab Tafsir UIN Sunan Kalijaga, bahwa islam merupakan agama yang sangat bersahabat dengan kehidupan umat manusia secara universal. Sebagai agama yang friendly dan fleksibel otomatis islam akan mempunyai batasan yang jelas dalam segala hal dan akan menghindarkan manusia dari hal-hal yang kurang menyenangkan, termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan halal dan haram. Jika haram diartikan sebagaimana statement di atas, maka yang terjadi kemudian adalah kericuhan dan kesengsaraan. Sebagai contoh, gula di Indonesia merupakan salah satu dari beberapa jenis Sembako yang sangat diperlukan oleh masyarakat, oleh karenanya gula diproduksi secara besar-besaran di Indonesia. Produksi secara besar-besaran ini tentu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang hampir mencapai 2000000 (dua juta) jiwa di seluruh penjuru tanah air. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa di Indonesia mempunyai banyak pasien-pasien pengidap penyakit gula darah yang menurut ilmu kedokteran dilarang untuk mengonsumsi makanan yang mengandung glukosa.
Jika ditarik pada definisi haram di atas, maka hal yang paling rasional untuk dilakukan oleh pihak pemerintah, dalam hal ini MUI sebagai organisasi yang berwenang di Indonesia, berhak untuk mengharamkan pemakaian gula dalam makanan. Hal ini dikarenakan gula mempunyai unsur kimiawi yang dapat menyebabkan meningkatnya kadar gula dalam darah, yang dalam tahap tertentu dapat menyebabkan kelumpuhan syaraf atau dikenal dengan stroke. Atau lebih ekstrim lagi mengenai konsumsi daging kambing yang dapat menyebabkan obesitas, hipertensi ataupun kolesterol. Daging kambing bisa jadi juga akan menjadi haram dikarenakan reaksinya yang sangat cepat untuk menaikkan kadar darah dalam tubuh dan dalam tahap selanjutnya mungkin akan mengganggu kerja jantung sehingga akan terjadi gagal jantung ataupun sakit jantung kronis.
Dalam beberapa kasus disebutkan mengenai keharaman menghisap rokok. Sebagaimana kasus mengenai gula, rokok, di Indonesia, juga diproduksi secara besar-besaran. Banyak dari warga Indonesia yang menyandarkan hidupnya pada pekerjaan mlinting rokok. Rokok menurut ahli mempunyai beribu-ribu racun yang dapat menularkan dan atau menyebabkan berbagai macam penyakit termasuk kematian. Jika ditelisik lebih lanjut, banyak orang yang meninggal bukan hanya karena rokok, banyak juga orang yang meninggal dikarenakan hal sepele seperti keselek atau salah mengonsumsi makanan dan lain sebagainya. Hal yang sebenarnya patut untuk digaris bawahi dalam mengonsumsi sesuatu, dalam hal ini rokok, adalah dengan per-husnudzanpada setiap sugesti seseorang ketika hendak mengonsumsi satu produk. Banyak orang yang memakan makanan halal namun bersu’udzon sehingga menyebabkan ia tersedak yang mengakibatkan satu penyakit serius tertentu, namun tak jarang pula orang yang mengonsumsi rokok dapat hidup puluhan bahkan hidup dengan umur lebih dari seratus tahun. Hal ini tentu juga dikarenakan keberkahan atas apa yang mereka konsumsi secara husnudzan itu.
Di atas sudah disebutkan bahwa islam adalah agama yang fleksibel. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim mengapa kita menyusahkan diri kita sendiri dengan dalih aturan agama ? nikmatilah hidup ini dengan selalu bersyukur dan ber-husnudzan terhadap apa yang Allah ciptakan demi efisiensi kehidupan manusia di dunia, namun juga harus dilandaskan pada ajaran agama. Adapun batasan yang diajarkan oleh Rasulullah sendiri adalah khoirul umuuri awsathuha.
Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 04/02/2015

Oleh: Barokatun Nisa 

Thursday 26 February 2015

Problematika “Bersalaman” dengan Lawan Jenis di Kalangan Santri (Part I)



Problematika “Bersalaman” dengan Lawan Jenis di Kalangan  Santri (Part I)

Sebelumnya telah dibahas mengenai makna santri, namun untuk mengingatkan kembali, definisi santri adalah seseorang yang menuntut ilmu agama di pondok pesantren di bawah bimbingan kiai atau ustad. Berbicara mengenai santri, tidak akan lepas dari kaidah-kaidah teologis yang melingkupi mereka. Terutama mengenai batasan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam islam, dikenal mengenai istilah mahrom, yaitu orang yang mempunyai darah yang sama dan mengalir di dalam tubuh seseorang yang menyebabkan ia haram untuk menikahi saudara sedarahnya tersebut, seperti silsilah ayah hingga ke atas dan silsilah anak hingga ke bawah. Definisi Mahrom sendiri berbeda dengan definisi muhrim yang banyak dikenal oleh masyarakat luas. Adapun muhrim yaitu orang yang tengah melakukan ihrom, haji di Baitullah Makkah. Jika seseorang tidak memiliki ikatan darah, maka ia disebut dengan kata ajnaby atau ajnabiyah yaitu orang yang boleh untuk dinikahi.
Sudah mafhum tentunya bahwa interaksi antara ajnaby dan mahrom itu berbeda. Hal ini sebagaimana yang sudah ditentukan dalam syari’at islam dan tentu sudah sangat familier di kalangan santri. Di manakah anda melihat seorang santriwati dengan bebas dapat berinteraksi dengan pria ajnaby atau begitu juga sebaliknya ? tentu sangat jarang ditemukan. Terlebih lagi jika mereka masih menyandang status santri aktif, yaitu seorang santri yang memang masih menetap dan tinggal sehari-harinya di pondok. Namun hal ini akan menjadi semakin berbeda keadaannya jika seorang santri tersebut sudah berada di luar kawasan pondok pesantren, santri pasif.
Permasalahan di atas kemudian semakin bertambah ketika kita melihat seorang santri pasif –selanjutnya akan ditulis demikian karena sesungguhnya tidak ada kata mantan santri dalam dunia pesantren–  yang melanjutkan studinya di luar kawasan pesantren secara bebas dan tanpa batasan bergaul dengan lawan jenis. Hal ini sangat bertentangan dengan kehidupan sehari-hari kaum santri yang notabene selalu hidup penuh dengan aturan dan satu hal yang tabu jika sampai terlihat berinteraksi dengan lawan jenis. Namun aturan dan ke-tabu-an tersebut bukanlah satu-satunya hal yang harus kita perhatikan. Ada hal lain yang mungkin jadi pertimbangan para santri pasif ini untuk berinteraksi dengan lawan jenisnya termasuk bersalaman, yakni sebagai sikat etis, menghormati mereka, terlebih ketika mereka telah mengulurkan tangan untuk bersalaman di tengah keramaian. Yaitu dengan dalih tidak ingin mempermalukan teman yang mengajak bersalaman terlebih dahulu. Apakah praktisi yang seperti ini diperbolehkan dalam klausul hukum islam ?
Me

Wednesday 4 February 2015

KONTROVERSI DEFINISI HALAL DAN HARAM : ROKOK HARAM ?

Kontroversi Definisi Halal dan Haram : Rokok Haram ?
Bermula dari pertanyaan seorang teman mengenai batasan definisi halal dan haram, “Bapak, dalam satu klan ormas muslim di Indonesia ada yang mendefinisikan haram dengan hal yang mempunyai madharat lebih banyak daripada manfaatnya apakah menurut bapak definisi ini adalah benar dan patut diaplikasikan ?”
Dari sini kemudian penulis merasa tergelitik untuk menulis penjelasan dosen kami mengenai paradigma masyarakat Indonesia yang notabenenya terlalu condong pada kategori kaum santri, yang penuh kehati-hatian dan sebisa mungkin menjauhi bid’ah. Dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa bid’ah adalah sesuatu yang pada era Rasulullah belum ada dan baru dikenal pada zaman-zaman terakhir ini.
Sebagai salah satu negara islam terbesar di dunia, tidak heran jika Indonesia mempunyai banyak paham ideologis yang berbeda. Perbedaan ini bukan hanya pada cara pandang mereka terhadap hal-hal ubudiyyah namun juga masuk di dalamnya hal-hal yang berkaitan dengan mu’amalat antar muslim. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan urusan teologis yaitu mengenai pemahaman mereka mengenai praktisi ibadah dan termasuk di dalamnya beberapa definisi fiqhiyah seperti halal dan haram.
Sudah maklum di kalangan muslimin bahwa halal adalah segala hal yang bersih, sehat dan tidak ada subhat dalam mengonsumsinya. Sebagai contoh nasi, di Indonesia khususnya, adalah makanan pokok berkarbohidrat tinggi dan sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia, yang mengonsumsinya merupakan hal yang wajar dan diperlukan. Menurut penulis definisi kata halal sendiri sudah gholib, tidak ada kontroversi paham ideologis di dalamnya. Sedangkan mengenai definisi haram sendiri, banyak kalangan yang mempunyai perbedaan cukup besar di dalamnya. Sebagai contoh, orang NU, hususnya yang termasuk golongan santri menganggap bahwa haram adalah hal yang sudah mutlak dilarang untuk dikonsumsi, seperti ciu atau bir, daging babi dan anjing. Adapun batasannya adalah apa-apa yang sudah disebutkan dalam kitab-kitab hadis dan fiqih. Namun adapula sebuah golongan yang berpendapat bahwa definisi daripada haram yaitu semua hal yang dianggap mempunyai madharat lebih banyak daripada manfaatnya. Dari sini maka akan ada distorsi pemahaman mengenai hal-hal yang halal dan haram, sedangkan pada hakikatnya halal dan haram dianalogikan seperti dua kategori warna, putih dan hitam.
Dari polemik ini, penulis kembali merujuk pada penjelasan yang diutarakan oleh dosen Penelitian Kitab Tafsir UIN Sunan Kalijaga, bahwa islam merupakan agama yang sangat bersahabat dengan kehidupan umat manusia secara universal. Sebagai agama yang friendly dan fleksibel otomatis islam akan mempunyai batasan yang jelas dalam segala hal dan akan menghindarkan manusia dari hal-hal yang kurang menyenangkan, termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan halal dan haram. Jika haram diartikan sebagaimana statement di atas, maka yang terjadi kemudian adalah kericuhan dan kesengsaraan. Sebagai contoh, gula di Indonesia merupakan salah satu dari beberapa jenis Sembako yang sangat diperlukan oleh masyarakat, oleh karenanya gula diproduksi secara besar-besaran di Indonesia. Produksi secara besar-besaran ini tentu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang hampir mencapai 2000000 (dua juta) jiwa di seluruh penjuru tanah air. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa di Indonesia mempunyai banyak pasien-pasien pengidap penyakit gula darah yang menurut ilmu kedokteran dilarang untuk mengonsumsi makanan yang mengandung glukosa.
Jika ditarik pada definisi haram di atas, maka hal yang paling rasional untuk dilakukan oleh pihak pemerintah, dalam hal ini MUI sebagai organisasi yang berwenang di Indonesia, berhak untuk mengharamkan pemakaian gula dalam makanan. Hal ini dikarenakan gula mempunyai unsur kimiawi yang dapat menyebabkan meningkatnya kadar gula dalam darah, yang dalam tahap tertentu dapat menyebabkan kelumpuhan syaraf atau dikenal dengan stroke. Atau lebih ekstrim lagi mengenai konsumsi daging kambing yang dapat menyebabkan obesitas, hipertensi ataupun kolesterol. Daging kambing bisa jadi juga akan menjadi haram dikarenakan reaksinya yang sangat cepat untuk menaikkan kadar darah dalam tubuh dan dalam tahap selanjutnya mungkin akan mengganggu kerja jantung sehingga akan terjadi gagal jantung ataupun sakit jantung kronis.
Dalam beberapa kasus disebutkan mengenai keharaman menghisap rokok. Sebagaimana kasus mengenai gula, rokok, di Indonesia, juga diproduksi secara besar-besaran. Banyak dari warga Indonesia yang menyandarkan hidupnya pada pekerjaan mlinting rokok. Rokok menurut ahli mempunyai beribu-ribu racun yang dapat menularkan dan atau menyebabkan berbagai macam penyakit termasuk kematian. Jika ditelisik lebih lanjut, banyak orang yang meninggal bukan hanya karena rokok, banyak juga orang yang meninggal dikarenakan hal sepele seperti keselek atau salah mengonsumsi makanan dan lain sebagainya. Hal yang sebenarnya patut untuk digaris bawahi dalam mengonsumsi sesuatu, dalam hal ini rokok, adalah dengan per-husnudzanpada setiap sugesti seseorang ketika hendak mengonsumsi satu produk. Banyak orang yang memakan makanan halal namun bersu’udzon sehingga menyebabkan ia tersedak yang mengakibatkan satu penyakit serius tertentu, namun tak jarang pula orang yang mengonsumsi rokok dapat hidup puluhan bahkan hidup dengan umur lebih dari seratus tahun. Hal ini tentu juga dikarenakan keberkahan atas apa yang mereka konsumsi secara husnudzan itu.
Di atas sudah disebutkan bahwa islam adalah agama yang fleksibel. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim mengapa kita menyusahkan diri kita sendiri dengan dalih aturan agama ? nikmatilah hidup ini dengan selalu bersyukur dan ber-husnudzan terhadap apa yang Allah ciptakan demi efisiensi kehidupan manusia di dunia, namun juga harus dilandaskan pada ajaran agama. Adapun batasan yang diajarkan oleh Rasulullah sendiri adalah khoirul umuuri awsathuha.
Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 04/02/2015

Oleh: Barokatun Nisa