Problematika “Bersalaman” dengan Lawan Jenis di
Kalangan Santri (Part I)
Sebelumnya telah dibahas mengenai makna
santri, namun untuk mengingatkan kembali, definisi santri adalah seseorang yang
menuntut ilmu agama di pondok pesantren di bawah bimbingan kiai atau ustad.
Berbicara mengenai santri, tidak akan lepas dari kaidah-kaidah teologis yang
melingkupi mereka. Terutama mengenai batasan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam islam, dikenal mengenai istilah mahrom,
yaitu orang yang mempunyai darah yang sama dan mengalir di dalam tubuh
seseorang yang menyebabkan ia haram untuk menikahi saudara sedarahnya tersebut,
seperti silsilah ayah hingga ke atas dan silsilah anak hingga ke bawah.
Definisi Mahrom sendiri berbeda dengan definisi muhrim yang
banyak dikenal oleh masyarakat luas. Adapun muhrim yaitu orang yang
tengah melakukan ihrom, haji di Baitullah Makkah. Jika seseorang tidak memiliki
ikatan darah, maka ia disebut dengan kata ajnaby atau ajnabiyah yaitu
orang yang boleh untuk dinikahi.
Sudah mafhum tentunya bahwa interaksi antara ajnaby
dan mahrom itu berbeda. Hal ini sebagaimana yang sudah ditentukan dalam
syari’at islam dan tentu sudah sangat familier di kalangan santri. Di manakah
anda melihat seorang santriwati dengan bebas dapat berinteraksi dengan pria ajnaby
atau begitu juga sebaliknya ? tentu sangat jarang ditemukan. Terlebih lagi jika
mereka masih menyandang status santri aktif, yaitu seorang santri yang memang
masih menetap dan tinggal sehari-harinya di pondok. Namun hal ini akan menjadi
semakin berbeda keadaannya jika seorang santri tersebut sudah berada di luar
kawasan pondok pesantren, santri pasif.
Permasalahan di atas kemudian semakin
bertambah ketika kita melihat seorang santri pasif –selanjutnya akan ditulis
demikian karena sesungguhnya tidak ada kata mantan santri dalam dunia
pesantren– yang melanjutkan studinya di
luar kawasan pesantren secara bebas dan tanpa batasan bergaul dengan lawan
jenis. Hal ini sangat bertentangan dengan kehidupan sehari-hari kaum santri
yang notabene selalu hidup penuh dengan aturan dan satu hal yang tabu jika
sampai terlihat berinteraksi dengan lawan jenis. Namun aturan dan ke-tabu-an
tersebut bukanlah satu-satunya hal yang harus kita perhatikan. Ada hal lain
yang mungkin jadi pertimbangan para santri pasif ini untuk berinteraksi dengan
lawan jenisnya termasuk bersalaman, yakni sebagai sikat etis, menghormati
mereka, terlebih ketika mereka telah mengulurkan tangan untuk bersalaman di
tengah keramaian. Yaitu dengan dalih tidak ingin mempermalukan teman yang
mengajak bersalaman terlebih dahulu. Apakah praktisi yang seperti ini
diperbolehkan dalam klausul hukum islam ?
Me
0 comments:
Post a Comment