Hukuman Mati Vs Asas Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab
Belum lama ini bahkan hingga saat ini
Indonesia, tanah air tercinta kita, tengah digemparkan oleh eksekusi mati
gembong narkoba yang lebih dikenal dengan nama bali nine. Tragedi yang
menyebabkan indonesia harus secara tegas menghukum mati dua gembong narkoba
asal Australia dan berimbas pada relasi internasional dua negara besar ini.
Sebagaimana diketahui, presiden ke-7 RI, Joko
Widodo telah mengambil satu jalan tegas demi mengurangi tindak kejahatan
narkoba yang selama ini menghantui para kader bangsa, yaitu dengan menghukum
mati para pengedar. Jika kita melihat dari sisi gelap para pengedar juga dari
sisi terang dan pesimistik pemerintah Indonesia, maka hukuman ini adalah
hukuman yang sangat rasional untuk diambil. Kejahatan narkotika akan berimbas
pada rusaknya moral, fisik dan psikis para junkies (baca: ketergantungan
narkotika) yang kebanyakan masih mengenyam pendidkian tingkat SMA/ sederajat
dan perkuliahan. Dimana pada rentang usia tersebut mereka berada pada masa-masa
produktif yanf seharusnya dapat membawa mereka pada jenjang pencarian bakat dan
jatidiri untuk masa depan mereka dan bangsa Indonesia yang lebih cerah.
Manusia adalah tempatnya lupa dan dosa,
statement ini adalah ungkapan yang sangat masyhur di telinga kita. Memang sudah
sejatinya sifat manusia untuk lupa dan bersalah. Salah satunya sebagaimana
dalam kasus ini, mengedarkan narkotika. Namun logikanya, tingkat kelupaan dan
kesalahan manusia pasti ada batasnya, sama sebagaimana ungkapan “sabar ada
batasnya”. jika kesabaran, kelupaan dan kesalahan ini berlangsung secara terus
menerus tentu kita tidak dapat mengklasifikasikan tindakan ini sebagai tindakan
manusiawi, melainkan tindakan sekepenake dewe atau tindakan berdasarkan
egosentris mereka sendiri. Sebagai manusia yang “manusiawi” kita juga tidak
dapat menerima hal ini, tentu saja dikarenakan alasan yang sangat simple,
karena kita juga punya tingkat dan batasan kenyamanan sendiri dalam kehidupan
kita.
Jika kita memperluas analogi di atas, yakni
dilihat dari kacamata sebuah negara, hal ini tentu saja juga berlaku. Sebagai
sebuah negara yang berkewajiban mengayomi dan melindungi warganya dari wabah
mengerikan, seorang presiden tentu berhak dan wajib untuk mengambil tindakan
tegas demi merealesasikan hal ini, salah satunya dengan membuat kebijakan baru yaitu
dengan menghukum mati para terpidana narkotika. Hal ini tentu saja sudah jelas,
dikarenakan narkotika tidak hanya mengorbankan satu atau dua nyawa melainkan
puluhan bahkan ratusan. Hal ini sebagaimana yang dilansir pada pemberitaan
koran kompas yang menyatakan bahwa dalam satu hari ratusan orang meregang nyawa
dikarenakan OD. Sungguh sebuah fakta yang sangat menyedihkan. Kenyataan ini
tentu sudah sangat menggambarkan betapa tidak setaranya jika kita protes, demo
untuk menyelamatkan satu nyawa yang sudah jelas membahayakan ratusan nyawa
generasi bangsa Indonesia, sebagaimana ynag dilakukan oleh mbak Anggun Cipta
Sasmi, seorang artis internasioan berkewarganegaraan Indonesia yang sekarang
sudah mendapatkan kewarganegaraan Prancis (baca berita mengenai surat terbuka
Anggun untuk Presiden Jokowi sebagai bentuk protesnya terhadap vonis hukuman
mati Atloui). Dalam surat terbukanya itu ia menyampaikan banyak argumen untuk
menolak hukuman mati, hususnya yang dilemparkan pada terdakwa Sergei Atloui.
Salah satu argumen yang ia ungkapkan adalah bahwa hukuman mati adalah gagalnya
sisi kemanusiaan dan juga hilangnya nilai-nilai keadilan bangsa Indonesia, yang
mana hal ini berkaitan dengan sila kedua dalam Pancasila. Sebenarnya benarkah
hukuman mati ini berbanding terbalik dengan dasar utama bangsa Indonesia yang
dirumuskan oleh para pejuang nasionalis saat itu?
Sebagai warga negara Indonesia dan tumbuh besar di negara ini, saya dengan sangat jelas
dapat memaklumi dan memahami konsekuensi atas kebijakan yang diambil oleh bapak
presdien. Hal ini dikarenakan hukuman mati yang dilayangkan presiden terhadap
para gembong narkotika ini adalah hal yang sangat patut dilakukan mengingat
kelakuan para gembong tersebut yang sudah cukup meresahkan dan merugikan aset
bangsa (baca: generasi muda). Bahkan kebijakan baru ini –lagi-lagi menurut
pandangan saya- senada dengan keinginan M. Yamin, Moh. Hatta dan Presiden
Soekarno ketika merumuskan lima dasar negara ini. Karena sebagai negara yang
adil dan beradab sudah sewajarnya Indonesia mampu ntuk membuktikan dan berdiri
dengan wajah tegak atas kebijakan yang kita ambil agar dapat dihormati dan disegani
negara lain. Dengan adanya kebijakan baru ini maka sudah barang tentu para
pengedar hususnya yang berasal dan berkewarganegaraan asing akan berpikir dua
kali sebelum melakukannya.
Kebijakan yang diambil presiden Jokowi ini
sebagaimana pedang bermata dua, mampu untuk meminimalisir penyebaran narkoba
dan menakut-nakuti para gembong narkoba untuk memasarkannya di pasar Indonesia.
Setelah lahirnya kebijakan ini maka diharapkan Jika ada seseorang yang secara sengaja
berniat dan melakuakan tindakan mengedarkan narkoba berarti ia sudah dengan
siap mengantarkan nyawanya.Save Indonesia. :)
Yogyakarta, 2 Mei 2015
0 comments:
Post a Comment